“Bapak,
saya mulai lelah”
Ini bukan
pertama kalinya aku datang menghadap bapak, bapak kedua. Ini sudah hampir lebih
dari 5x. Aku tak tahu, setiap bimbingan bapak selalu menanyakan judul,
menanyakan tujuan dan menanyakan populasi yang diambil. Alasan…bahkan aku
tahu bapak sudah mengetahuinya di luar kepala bapak (mungkin). Sampai bapak tak
bisa mengingatnya sama sekali. Bapak tahu dan ingat, seharusnya. Bapak yang
memberi rujukan teori ilmu perilaku, bapak yang mengganti kuantitatif bahkan
berkali-kali aku sudah berkata ini kualitatif, bapak yang sudah membolak
balik judul skripsi yang sudah bapak acc kemudian bapak ralat (lagi dan lagi),
bapak pula yang tak mau memberi penjelasan tentang teori yang aku pikir rumit
untuk aku cerna karna aku tahu mungkin bapak menginginkan aku untuk mandiri. Kita
bapak, terlibat dalam suatu diskusi dalam seminggu 2 hingga 3 kali.
“Siapa
bapak pertamamu?”
“Pak ***a*”
“Pak
apa mas? Kemaren mas?”
Itu
adalah kata pengantar yang selalu bapak berikan kepadaku. Aku tak tahu isi hati
bapak kedua terhadap bapak pertama, yang mungkin bapak kurang suka atau memang
bapak kurang dekat dengannya. Revisi, hingga saat ini.
“udah,
kamu sempro minggu depan”
Aku
tahu, aku jarang mendekati bapak, bapak pertama. Maaf, mungkin terkesan tidak
sopan. Namun rasa masukan yang bapak berikan terasa kurang. Bahkan tak ada
masukan. Setiap bertanya, bapak memberi rujukan tanpa menjelaskan. Bahkan
rujukan itu belum menjawab pertanyaan yang aku tanyakan. Perintah bapak untuk
sempro secepat mungkin terasa aku kesampingkan. Aku memang tak mendengar
perintah bapak, tak pernah. Bahkan proposalku belum ada kata acc dari bapak
kedua. Dan bapak? Bahkan belum menyentuh proposalku. Entah belum atau memang
tak mau.
Aku
begitu takut untuk bertanya kepada bapak kedua, “bapak, kapan saya bisa sempro?”.
Dan aku begitu enggan untuk mendatangi bapak pertama, “bapak proposal ini apa
yang harus diperbaiki?”. Bapak, aku mendapatkan jawaban dari setiap
pertanyaanku dengan seorang diri. Bapak mengajarkanku tentang arti sebuah
kemandirian. Mandiri atas segala pertanyaan dan jawaban yang harus aku cari
sendiri.
Hei
kau. Kau yang satu bapak denganku. Aku pikir kita bisa saling menguatkan. Aku pikir
kita bisa berjuang bersama. Tapi mengapa kau terasa mempunyai 1001 alasan untuk
tak bertemu bapak pertamamu dan bapak keduaku bersama? Apakah kau yang tak
ingin bersama? Ataukah kau yang masih merasa sangat takut? Itu hidupmu. Namun aku
begitu benci kenapa aku harus begitu mempedulikanmu. Tak tahukah kau akhir-akhir
ini kau terasa berbeda? Ada apa denganmu? Kenapa kau tak mendepakku atau
menamparku saja dengan tanganmu? Jika karna kehadiranku yang membuat engkau
enggan bertemu dengan bapak, aku akan menghilang. Kau tahu, kau harus
berdiskusi dengannya, kumohon. Kau bisa, bahkan kau lebih bisa daripada aku.
Air
mata ini sudah jatuh kesekian kalinya. Menetes hingga mengalir. Apa lagi
sekarang?
Bagaimana jika aku nekat sempro tanpa bapak kedua
belum menuliskan sebuah kata acc? hahhaha
Komentar