Ini
adalah negeriku. Indonesia. Luasnya membentang dari Sabang sampai Merauke.
Keindahan alamnya tak terkira hingga zamrud khatulistiwa-pun menjadi sebutan
yang populer bagi negeriku diseluruh belahan dunia. Kekayaan yang dipunya negeriku
sangat berlimpah hingga membuat banyak perusahaan asing tertarik untuk
menanamkan sahamnya alih-alih “mengambil habis” sumber daya alam yang ada. Mulai
dari minyak, emas, batu bara...semua sumber daya alam itu kita nikmati. Kita
nikmati dengan versi yang berbeda, dengan kadar yang berbeda.
Globalisasi
yang mulai memasuki negeri ini merubah 1001 lifestyle
dan fasilitas yang ada. Kita tak perlu merasa resah atas segala perubahan yang
terjadi di negeri kita ini. Toh
perubahan itu sudah terjadi, nyata ada didepan mata dan sekeliling kita. Toko merupakan
suatu bentuk usaha kecil yang dimiliki oleh beberapa orang. Penghasilannya
digunakan sebagai pelengkap kebutuhan hidup sehari-hari. Sekarang bentuk usaha
kecil itu sudah hampir punah. Globalisasi sudah menggantinya dengan minimarket.
*n**mart dan *l**mart berjejer rapi disetiap ruas jalan. Bukan perubahan, tapi
penggantian. Karena pemiliknya bukan lagi masyarakat yang memakai keuntungan
sebagai pelengkap kebutuhan hidup, pemiliknya entah masyarakat atau mungkin
pihak asing. Bermacam-macam makanan tersedia didalamnya. Higienis, instan dan enak.
Snack dengan berbagai variasi dan rasa ada disana. Bahkan dengan banyaknya
variasi yang ada, sering kita merasa bingung atau bahkan bosan mengingat
minimarket sudah menjadi tongkrongan
kita setiap hari. Tapi bagaimana dengan gizi yang terkandung didalamnya? Entahlah,
bahkan saat kita mengambil makanan itu mana
sempat kita berfikir tentang kandungan gizi yang ada dalam snack itu??
Globalisasi
membawa kita dalam sebuah kemajuan. Kemajuan yang terkadang kita lupa untuk
menyaring mana yang cocok dan kurang cocok. Kemajuan yang terkadang membuat
kita mematok “mereka” sebagai acuan pola hidup kita. Hingga tanpa sadar kita
melupakan keluarga kita yang lain, yang berada di tanah lain, yang masih
mempunyai atap dan kebangsaan yang sama. Indonesia.
Gambar ini adalah sebuah fenomena kecil yang mungkin sering kita lihat. Ini tidak asing. Bahkan familiar dimata kita. Seorang penjaja makanan di depan sekolah dasar. Sekolah ini tidak se-elite sekolah yang berada dikota besar. Fasilitasnya cukup memadai, hanya memang jumlah muridnya tak terlalu banyak. Jumlah siswa kelas satunyapun tak lebih dari 20 anak. Ini sekolah yang berada di Kota Brebes. Kota yang terkenal dengan telur asin dan pertanian bawangnya yang berkembang cukup pesat. Lalu apa masalahnya??
Penjaja
makanan ini menggunakan panci yang sudah sangat hitam kelam. Kerak yang ada diatas
panci sudah tidak diragukan lagi keberadaannya. Minyak yang digunakan adalah
minyak yang sudah berwarna hitam kemudian ia letakkan dalam botol air mineral
1,5 liter. Bumbu yang digunakan pun sederhana, penyedap makanan *micin dan
saus. Bukan saus yang dijual di supermarket dengan label depkes atau kemasan
yang menyehatkan. Saus yang ditempatkan dalam botol yang cukup besar itu
berwarna merah mencolok, bahan pembuat makanannya pun tak bisa dipastikan. Bahkan
beberapa zat berbahaya mungkin ada didalamnya. Kompornya terlihat sangat “seadanya”.
Jika kita berbicara tentang safety,
jangankan safety…dari kata
standar-pun itu sangat jauh. Tabung gas yang seharusnya dijauhkan dari
jangkauan anak-anak bahkan menjadi alat mainan yang bisa diputar-putar sesuai
dengan keinginan si konsumen *anak-anak.
Tawa
renyah dari ibu sang penjaja makanan keluar saat beberapa pertanyaan aku
utarakan padanya. Ia bukan seorang penjaja yang memang sengaja memberikan
makanan “jahat” kepada anak-anak yang sedang dalam masa emas mengalami pertumbuhan
dan perkembangan. Anak-anak yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa, yang suatu
saat nanti akan membawa bangsa Indonesia entah berada ke arah mana. Ia bahkan
tak tahu jika cara memasak yang ia lakukan kurang benar. Ia tak mengerti
bagaimana cara meningkatkan keuntungan secara picik. Ia bahkan tahu, ia tak
bisa memperoleh penghasilan yang banyak jika ia terus berjualan seperti ini,
mengingat jumlah siswa yang bersekolah di sekolah itu hanya sedikit. Ia hanya
melakukan apa yang ia pikir bisa ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-harinya dan anaknya yang sedang bersekolah di bangku SMA. Terlihat benar
jika sang ibu mempunyai semangat yang tinggi untuk menyekolahkan anaknya hingga
bangku yang tinggi. Ia tak meminta muluk-muluk gelar sarjana dapat diraih oleh
anaknya, yang ia ingin hanya anaknya menjadi pintar dan mempunyai penghasilan
yang baik. Lebih baik dari apa yang ia kerjakan sekarang.
Makanan
itu bernama spagheti. Spagheti yang kita maknai sebagai makanan impor kini
dapat dikonsumsi oleh masyarakat “bawah” dengan versi yang berbeda, rasa yang
berbeda. Sangat berbeda. Melihatnyapun sudah membuat hati ini menangis. Mie
yang digunakan adalah mie yang sering digunakan untuk memasak kwetiau, mie
dengan ukuran lebih lebar. Bumbunya mudah, hanya saus dan sedikit penyedapp
makanan ditambah dengan sedikit minyak. Entah rasa apa yang tercipta. Dengan ditempatkan
diatas kertas minyak yang sudah dibentuk sedemikian rupa sebagai piring, mie
itu dihargai Rp 500,00 . Murah bukan? Terjangkau? Tapi pernah kah berfikir,
apakah itu makanan atau “racun” yang ditelan oleh anak-anak??
Sempat terucap beberapa
patah kata, sebuah kata yang sangat menggugah hati ini
“mba, seneng rasanya
kalo liat ada anak pake baju kaya gitu”
Senyum
ibu itu mengembang. Tersirat sebuah harapan besar yang jelas ada. Baju yang ia
maksud adalah almamater. Sebuah identitas yang pasti dimiliki oleh setiap
universitas. Jadi, apa??
Kawan,
mereka menantimu. Menanti para mahasiswa mengubah segala kehidupan menjadi
lebih baik. Mereka tak membutuhkan belas kasihan. Mereka membutuhkan bantuan,
bimbingan kita. Menuntun mereka, bukan memberi mereka uang kemudian membiarkan
mereka melanjutkan kehidupan mereka. Itu adalah hati. Cobalah untuk membuka
hati. Membuat kita yang menjadi lebih peka dan melihat sekeliling kita. Mengukir
cita-cita yang tinggi, membuat bermacam jalan alternatif untuk menggapainya. Tapi
ingatlah darimana kita berasal, ingatlah bahwa Indonesia membutuhkan kita. Tak peduli
bagaimana korupsi dan ketidakadilan di negeri ini berkembang. Kita tak pernah
mau menjadi budak mereka, tak pernah mau melakukan apa yang hanya membuat
mereka puas tanpa melihat tujuan awal mereka memimpin negeri ini. Kita adalah
Indonesia. Dan Indonesia adalah kesatuan. Kesatuan yang memajukan masyarakat
secara bersama-sama. Tak perlu kita harus menunggu suatu kebijakan atau suatu
tindakan dari pemerintah. Kita hanya perlu bertindak secepat mungkin kita bisa,
secepat mungkin kita bisa memberikan segala hal yang dapat kita berikan kepada
mereka. Itulah cinta, cinta kepada sesama, cinta kepada negeri, cinta kepada
Tuhan.
Berjanjilah, berjanjilah kepada dirimu sendiri. Buatlah sebuah janji.
Aku lahir di negeriku, Indonesia. Dan esok aku akan maju bersama negeriku, bersama bangsaku, bersama Indonesia. Karna aku mencintai Indonesia. sekarang dan esok…
Komentar